Minggu, 02 November 2008

What is BROADCAST

WhaT is BRoadCasting????

Broadcasting is the distribution of audio and/or video signals which transmit programs to an audience. The audience may be the general public or a relatively large sub-audience, such as children or young adults.

There are wide variety of broadcasting systems, all of which have different capabilities. The largest broadcasting systems are institutional public address systems, which transmit nonverbal messages and music within a school or hospital, and low-powered broadcasting systems which transmit radio stations or television stations to a small area. National radio and television broadcasters have nationwide coverage, using retransmitter towers, satellite systems, and cable distribution. Satellite radio and television broadcasters can cover even wider areas, such as entire continents, and Internet channels can distribute text or streamed music worldwide.

The sequencing of content in a broadcast is called a schedule. As with all technological endeavors, a number of technical terms and slang have developed. A list of these terms can be found at list of broadcasting terms. Television and radio programs are distributed through radio broadcasting or cable, often both simultaneously. By coding signals and having decoding equipment in homes, the latter also enables subscription-based channels and pay-per-view services.


http://tbn0.google.com/images?q=tbn:G1hU01tf4aL0dM:http://www.globecommsystems.com/image/slnBrdctCntr.jpg

The term "broadcast" originally referred to the sowing of seeds by scattering them over a wide field. It was adopted to refer to the analagous dissemenation of signals by early radio engineers from the midwestern United States. Broadcasting forms a very large segment of the mass media. Broadcasting to a very narrow range of audience is called narrowcasting.

Economically there are a few ways in which stations are able to continually broadcast. Each differs in the method by which stations are funded:

* in-kind donations of time and skills by volunteers (common with community broadcasters)
* direct government payments or operation of public broadcasters
* indirect government payments, such as radio and television licenses
* grants from foundations or business entities
* selling advertising or sponsorships
* public subscription or membership

Broadcasters may rely on a combination of these business models. For example, National Public Radio, a non-commercial network within the United States, receives grants from the Corporation for Public Broadcasting (which in turn receives funding from the U.S. government), by public membership, and by selling "extended credits" to corporations.

Bagaimana menjadi Kameraman

Bagaimana seseorang menjadi cameraman?
(Bukan bagaimana menjadi seorang cameraman, lho…)

Masih lekat dalam ingatan, kala saya duduk di bangku sekolah dasar kelas satu, saat itu tahun 1971. Belum bisa menulis apalagi membaca. Pengalaman hari pertama bersekolah dilalui dengan banyak bermain dan menyanyi. Hingga ada saat ibu guru yang manis itu bertanya tentang cita-cita setiap murid.

“ Insinyuuuuuurrr…” teriak Rahman diikuti oleh beberapa temannya.

“ Saya dokter, bu Guru.” Kata Sri

“ Saya juga buuuu…” ujar murid lainnya.

Dua profesi itulah yang sering muncul saat ditanya cita cita. Dokter, insinyur, dokter, insinyur. Tak satu pun yang berucap ingin menjadi cameraman. Apalagi menjadi koruptor. Entah ada entah tidak, teman-teman SD saya yang terkabul cita citanya menjadi insinyur atau dokter saat ini , saya tidak tahu.

Sampai sekarang pun kalau kita bertanya pada siswa TK atau SD, jawabannya nyaris sama, malah sekarang bertambah: ingin jadi Presiden. Berkah reformasi mungkin. Nah… pertanyaannya, bagaimana seseorang bisa memiliki profesi sebagai cameraman? Berikut adalah hasil ngobrol santai saya dengan beberapa cameraman Liputan6 SCTV.

Adi Amir Zainudin:
“ Jutaan rupiah saya keluarkan untuk belajar camera, misalnya kursus, membeli bahan bahan, dan ikutan temen yang bekerja sebagai freelancer cameraman. Fotografi … Awal saya mengenal camera, kebetulan juga terlibat sebagai kru film dengan jabatan asisten cameraman tahun 1998.”

Adi, demikian dia selalu dipanggil. Punya angan untuk menjadi cameraman, karena sering bertemu dan berteman dengan cameraman. Lulus dari IAIN jurusan filsafat, Adi berkesempatan mengoperasikan kamera video, saat dia bekerja di sebuah rumah produksi. Tugasnya adalah merekam obyek urban landscape, untuk program dokumenter yang ditayangkan di salah satu televisi nasional.

” Saya sangat bergairah, waktu diminta shooting sendiri. Apalagi hasilnya buat ditayangin di TV. Semangatnya sih ingin membuat hasil bagus. Tapi akhirnya saya mengerti, kalo kamera video tuh nggak segampang kamera foto. Hasilnya gak sesuai seperti yang diharapkan. Malah bos saya ngomong kalo hasilnya, gak jelas mau apa.”

Sudah dua tahun lebih Adi bergabung di Liputan 6 sebagai cameraman. Menurut Adi ada 4 hal yang harus dimiliki setiap cameraman untuk mendapatkan hasil yang baik, yakni Visual/Estetika, Audio, Alur dan Voxpop. Lebih lanjut Adi mengatakan bahwa menjadi cameraman seperti penyair membaca puisi (dengan perkataan), cameraman harus bisa berkata-kata melalui gambar hingga penonton bisa menikmati. Adi sendiri ingin menjalani hidupnya, tetap sebagai cameraman profesional.

Novrianus Barend:
“ Boro-boro punya cita cita jadi cameraman, yang ada waktu itu adalah asal bisa kerja menghasilkan uang, dan gak mesti di televisi kerjanya. Kebetulan waktu itu ada lowongan di SCTV di bagian teknik, saya melamar dan diterima di divisi teknik logistik.”

Tepatnya 25 September 1996, Novri bergabung di SCTV, bertugas di bagian teknik logistik, melayani kru liputan untuk pengambilan alat-alat seperti kamera, tripod dll. Berkat lingkup kerjanya yang selalu berhubungan dengan kru liputan, Novri banyak memiliki kesempatan belajar tentang camera. Teknik pengambilan gambar ia dapat melalui ngobrol dengan cameraman dan menonton berita.

“Waktu lihat cameraman ambil kamera untuk liputan, keren gitu lho, perasaan jadi ngiri gitu. Kapan ya saya bisa jadi cameraman?”

Satu tahun lamanya pertanyaan di atas selalu berputar-putar dibenaknya, tidak dinyana akhirnya datang juga kesempatan Novri untuk meliput bersama reporter. Waktu itu Koordinator cameraman kehabisan kru, padahal ada peristiwa kriminal yang harus segera diliput. Ada orang mati ditembak!!!

“Sebelum meliput sendiri, saya sering ikutan temen-temen kriminal hunting malam, kadang kadang cameramannya kasih saya kesempatan untuk ambil gambar. Nah waktu disutuh liputan senengnya bukan main. Apalagi waktu tayang nama saya disebut sebagai cameramannya. Ternyata nikmatnya lebih dari yang dibayangin. Tapi saya belum puas lihat hasil gambar sendiri, walau koordinator bilang lumayanlah buat pemula.”

Tidak pernah merasakan pendidikan teknik kamera secara formal, makin memicu Novri untuk terus belajar. Walau otodidak hingga kini ia telah banyak menguasai berbagai macam skill seperti, Underwater Camera, pengiriman gambar via satelit dan VPN-IP serta editing gambar berbasis computer.

Meliput di daerah konflik seperti Aceh dan Ambon sudah sering dialami oleh bapak dua anak ini. Bahkan saat Aceh masih dalam kondisi darurat militer, ia sempat terjebak pada situasi kontak senjata antara TNI dengan GAM.

“Gak ada rasa takut waktu disuruh ke Aceh, walau taruhannya nyawa ya mau diapain, karena udah resiko pekerjaan kita. Saya selalu ingat omongan temen-temen yang lebih senior, untuk jangan berhenti belajar, jangan takut salah karena kalau gak pernah salah kita gak tahu mana yang benar.”

Ketika ditanya apakah akan tetap berprofesi sebagai cameraman.

“Gak tahu deh liat nanti aja,” ujarnya sambil pergi untuk minum kopi di kantin belakang.

Daeng Tanto:
“Lulus SMA gak bisa kuliah, karena kakak saya yang dapet jatah duluan, jadi harus tunggu tahun depan. Daripada nganggur saya nongkrong di sanggar senirupa sambil belajar melukis dan fotografi. Sering ketemu orang manggul kamera, jadi kepingin. Waktu itu sih perasaan kalo jadi cameraman kayaknya udah hebat.”

Sambil kuliah jurnalistik di Surabaya, Daeng Tanto bekerja di rumah produksi sebagai lightingman, kadang ia gulung kabel, atau juga sebagai cameraboy. Selama tiga tahun pekerjaan itu dilakoni sambil terus mengasah kemampuan tentang teknik kamera.

“Pertama disuruh pegang camera, langsung tangan ini dredeg (gemetar) takut salah. Tapi lama-lama biasa juga sih. Pas kerja di Liputan6 juga gitu, apalagi waktu itu meliput tawuran mahasiswa, posisi saya di tengah orang tawuran. Saking semangat campur panik jadi gak konsentrasi sampe salah rekam, mestinya merekam justru sebaliknya. Jadi gambarnya justru aspal sama pohon-pohon gitu.”

Keinginan Daeng Tanto saat ini adalah menjadi Video Jurnalist (VJ). Alasan pemegang gelar Sarjana Publisistik ini, pengetahuan dia mengenai dunia jurnalistik ditambah skill sebagai cameraman, cukup sebagai bekalnya menjadi seorang VJ.

“Malah kalau ada waktu dan kesempatan, saya mau ngajar, Mas!”

Dari cerita di atas bisa disimpulkan bahwa tidak mudah berprofesi sebagai cameraman, dan tidak seorang pun sejak awal ingin menjadi cameraman. Sampai suatu saat nanti, entah kapan, ketika tangan Anda harus memegang sebuah kamera dan Anda boleh berkata, ”Saya seorang Cameraman.”

Tapi saya masih berharap kelak, suatu saat saya menemukan siswa TK atau SD ketika ditanya apa cita citanya, ia menjawab: …CAMERAMAN!!!

Salam SCTV

Digital Video Broadcast Handheld

Digital Video Broadcast Handheld

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Digital Video Broadcast Handheld

Digital Video Broadcast Handheld (DVB-H)merupakan sistem dalam teknologi telepon pintar (smart phone) yang dikembangkan berdasarkan konvergensi layanan dari siaran televisi digital teresterial dan jaringan komunikasi mobile.

DVB-H merupakan standar yang dikembangkan oleh DVB Organisation, khusus untuk memungkinkan telepon seluler menayangkan siaran televisi. Standar ini sangat penting mengingat cukup besarnya konsumsi daya yang dihabiskan untuk mengaktifkan fitur ini. Mobilitas, layar dan antena yang lebih kecil, serta jangkauan di dalam ruang juga menjadi alasannya. Standar DVB-H memadukan standar televisi tradisional dengan elemen spesifik untuk peranti genggam.

Dengan teknologi DVB-H, pengguna dapat menonton sekaligus merekam acara siaran televisi favorit. Channel televisinya pun menjangkau channel internasional. Hanya saja menikmati channel tersebut, pengguna atau pelanggan mesti membayar dengan pulsa yang dimilikinya.

DVB-H merupakan satu dari empat sistem digital yang tersedia di dunia, yaitu Advanced Television Systems Committee (ATSC) di gunakan di Amerika Serikat dan Korea. Integrated Services Digital Broadcasting Terrestrial (ISDB-T) di gunakan di Jepang dan Brazil. Digital Multimedia Broadcasting Terrestrial / Handheld (DVB-T/H) di kembangkan di Cina. Sementara Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB) digunakan di negara-negara Eropa dengan seratus negara sebagai pengguna.

Di tahun 2006, sudah lebih dari 10 jaringan DVB-H yang ada di seluruh dunia sudah melakukan percobaannya. Selain Amerika Serikat juga Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Australia, dan beberapa negara lain. Tahun 2007, Amerika kemungkinan akan didominasi jaringan DVB-H.